Pada 11 April 2004, Magnus Bäckstedt mencatatkan kemenangan bersejarah di ajang Paris-Roubaix. Dua dekade berlalu, pebalap asal Swedia ini masih terkenang jelas akan momen yang menentukan kariernya itu.
"Saya merasa ada suasana berbeda di udara pada pagi itu," ujar Bäckstedt. "Sejak kami mulai mengayuh, saya tidak menyentuh pedal selama 150 km pertama. Bahkan saat melintasi Hutan Arenberg, rasanya cukup mudah. Saya merasa sangat menguasainya."
Perasaan tersebut ternyata tidak salah. Tahun ini menandai peringatan 20 tahun kemenangan Magnus Bäckstedt di Paris-Roubaix, yang identik dengan namanya. Pada hari itu, ia menghabiskan hampir tujuh jam di atas sadel, melintasi jalanan berbatu dan tanah yang kasar. Bagi banyak orang, itu adalah perjalanan yang sulit, tetapi bagi Bäckstedt, ia merasa seperti bebas mengayuh.
"Saya merasa sangat baik di Flanders. Saya merasa sangat baik di Gent-Wevelgem. Saya pikir saya berada di posisi kedua di Gent-Wevelgem tahun itu, dikalahkan oleh Tom Boonen dalam sprint akhir. Menuju Roubaix, saya hanya memiliki perasaan khusus bahwa ada sesuatu yang akan terjadi," ucapnya.
"Sekitar tanda 200 km, Fabio Baldato [saat itu direktur olahraga Alessio-Bianchi] datang dan bertanya bagaimana perasaan saya. Saya berkata, ‘Anda mungkin harus memeriksa karena saya tidak yakin apakah mekanik memasangkan rantai di sepeda’," ujarnya sambil tertawa. "Pada titik itu, segalanya berubah bagi saya. Saya adalah salah satu pebalap yang dilindungi sejak awal, tetapi semua orang pasti akan bekerja keras untuk menjaga saya pada akhir balapan itu."
Kisah Bäckstedt ini kini sudah terkenal di dunia balap sepeda. Ia memenangkan perlombaan dari kuartet breakaway, menorehkan sejarah sebagai juara Roubaix pertama asal Swedia. Para pewarta mengerumuninya di dalam velodrome pada akhir lomba. Reaksi spontan Bäckstedt singkat dan lugas. "Ini luar biasa," katanya sambil menggelengkan kepala.
Perjalanan Bäckstedt menuju Paris-Roubaix 2004, menurut pengakuannya, "bergelombang". Ia sempat mengalami beberapa serangan penyakit di awal musim, "beberapa guncangan kecil di jalan", dan meskipun diunggulkan, catatannya di ajang tersebut tidak menonjol. Dalam empat start sebelumnya, pebalap Swedia ini menempati posisi ke-7, ke-19, dan dua kali gagal finis.
Namun, apa yang kurang dalam pengalaman balapan, ia ganti dengan persiapan yang matang. "Saya telah melintasi dan melakukan pengamatan ulang mungkin tiga, jika tidak empat kali pada tahun itu," katanya. "Dengan banyaknya pengamatan ulang yang saya lakukan, saya mungkin menambahkan lima, enam tahun latihan dan secara fisik memahami apa yang harus saya lakukan."
"Pada akhirnya, semakin baik Anda secara fisik, semakin banyak keberuntungan yang Anda ciptakan sendiri. Saya pikir itu bagian dari kesulitan dan pesona balapan sepeda itu."
Pebalap yang saat itu berusia 29 tahun ini juga sangat memperhatikan perlengkapannya. Setelah lama memohon kepada produsen, Bianchi memberinya rangka titanium baru untuk lomba tersebut. Pilihan bannya juga unik pada saat itu. "Saya berhasil meyakinkan produsen ban kami untuk mengizinkan saya balapan dengan ban besar dan masif yang akan kita tertawakan sekarang. Saya adalah pebalap pertama tahun itu yang menggunakan ban 27 mm," ujar Bäckstedt.
"Ada banyak diskusi sebelumnya tentang apakah saya akan diizinkan mengendarainya karena saya mungkin kehilangan terlalu banyak waktu di jalan," tambahnya. Sejak saat itu, lebar ban standar di Roubaix telah menggelembung menjadi 32 mm, dan kecepatan hanya semakin meningkat.
Bahkan, tahun lalu, Mathieu van der Poel memenangkan edisi tercepat, melintasi garis akhir setelah lima jam dan 28 menit, dengan kecepatan rata-rata 46,841 km/jam. "Waktu kemenangan tahun lalu satu jam lebih cepat dari saat saya menang," kata Bäckstedt.
Hari ini, berkumpul dan menonton balapan telah menjadi tradisi di keluarga Bäckstedt setiap tahun. "Itu selalu menjadi hari Minggu yang sakral bagi kami," kata pria berusia 49 tahun itu. Tetapi ada saat ketika ia tidak tahan untuk melihatnya.
Dalam dua tahun menjelang kemenangannya, Bäckstedt membalap untuk tim Denmark, Fakta, yang tidak masuk dalam daftar undangan Paris-Roubaix. "Saya duduk di pinggir lapangan," katanya. "Bagi saya, sangat sulit untuk tidak berada di balapan itu hingga saya tidak bisa menontonnya. Saya malah pergi keluar dan berlatih."
"Sejak saat itu, setiap Ahad kedua di bulan April, hanya ada satu hal yang kami lakukan, yaitu duduk dan menonton balapan itu bersama-sama."
Tradisi tersebut memicu hasrat pada putrinya, Elynor dan Zoe, yang bermimpi membalap di atas jalanan berbatu, seperti yang dilakukan ayah mereka.
"Ketika mereka masih kecil, ada Paris-Roubaix muda, dan mereka memohon untuk pergi dan mengendarainya," kata Bäckstedt. "Kami pergi ke sana dan melakukannya beberapa kali, dan suatu tahun, mereka menyusun surat kepada UCI meminta mereka menggelar Paris-Roubaix putri."
"Mereka menulis bahwa mereka perlu menggelar lomba putri karena itu akan menjadi terakhir kalinya mereka bisa mengendarai jalanan berbatu Roubaix."
Pada tahun 2021, permintaan itu menjadi kenyataan, dan dua tahun kemudian, kedua putri Bäckstedt tampil di balapan elit untuk pertama kalinya, bersama-sama. Mereka mungkin adalah debutan paling siap dalam sejarah. Saat itu, Zoe yang berusia 18 tahun mengatakan bahwa ayahnya telah memberinya tips "sepanjang hidup saya". Dia bahkan balapan dengan sepasang pedal lama milik ayahnya.
Bagi keluarga Bäckstedt, edisi tahun ini istimewa. Tidak hanya karena menandai 20 tahun kemenangan Magnus, tetapi karena untuk tahun kedua berturut-turut, ia akan berada di samping para putrinya di peloton. Elynor akan membalap untuk Lidl-Trek, Zoe untuk Canyon-Sram, dan Magnus akan berada di mobil tim yang terakhir sebagai direktur olahraga.
"Saya harap kami semua akan berada di garis start dan garis akhir bersama-sama," katanya, "menandai peringatan 20 tahun itu."