Dalam balapan yang tak terduga di Giro d’Italia, Tadej Pogačar kembali menunjukkan dominasinya. Pembalap asal Slovenia ini mengukir kemenangan sensasional di etape 2, mengalahkan Dani Martínez dan Geraint Thomas.
Kejutan terbesar adalah Pogačar menaklukkan tanjakan terjal Santuario di Oropa tanpa komputer sepedanya. Akibat kebocoran ban dan tabrakan, ia terpaksa mengganti sepeda dan kehilangan perangkat vital itu.
Namun, alih-alih mengandalkan data, Pogačar justru mengukur tenaganya hanya dengan mengandalkan insting. Strategi ini membawanya pada kemenangan mengesankan, yang mengingatkan pada kemenangan Marco Pantani di tanjakan yang sama pada tahun 1999.
Meskipun tanpa data, Pogačar mampu mengendalikan kecepatannya dengan sempurna. Ia bergantung pada dukungan rekan satu timnya untuk mengejar kelompok terdepan dan mengatur serangan terakhirnya.
Menurut Chris Froome, mantan rekan setim rival Pogačar, Geraint Thomas, banyak pembalap profesional biasanya memantau data untuk mengukur intensitas upaya mereka. Namun, Pogačar membuktikan bahwa kemampuan alami dan insting dapat mengungguli data.
Kemenangan Pogačar tidak hanya di etape 2, tetapi juga serangannya di etape 3, menunjukkan bahwa ia tidak lagi hanya menjadi favorit juara tetapi juga percaya diri untuk mendominasi balapan.
Semangat Pogačar yang berapi-api membuat persaingan di Giro d’Italia semakin sengit. Pembalap berusia 25 tahun ini tidak hanya memburu kemenangan tetapi juga mencari momen untuk mencuri perhatian, bahkan di etape yang tidak menguntungkan baginya.
