Grand Tour ketiga dan terakhir tahun ini, Vuelta a Espana, telah berakhir pada hari Minggu dengan uji waktu terakhir di sekitar kota Madrid.
Balapan ini berlangsung menegangkan, tak kalah dari rivalnya di Italia dan Prancis. Duel sepanjang balapan antara Ben O’Connor (Decathlon-AG2R La Mondiale) dan pemenang akhirnya Primož Roglič (Red Bull-Bora-Hangrohe) memperebutkan GC, serta pertempuran menarik di peringkat bawah dan klasifikasi lainnya.
Berikut beberapa hal yang dapat kita petik dari balapan tiga minggu yang menjadi suguhan bagi penggemar balap sepeda:
Roglič Kembali ke Puncak
Meski sempat merajai dunia ski lompat sebelum sukses sebagai pesepeda, atlet Slovenia ini telah lama meniti karier. Ia telah memenangkan banyak gelar, tetapi belakangan ini kita terbiasa melihatnya finis lebih buruk dari yang seharusnya. Lihat saja: beberapa kali kecelakaan yang mengakhiri Tour de France, rekan senegaranya yang mencuri perhatian (Tadej Pogačar), dan rekan setim yang tak mau mengalah untuk membiarkannya meraih kemenangan Grand Tour (Sepp Kuss).
Jadi, kemenangan Roglič bersama Red Bull-Bora-Hansgrohe pada Vuelta a Espana tahun ini mungkin mengejutkan bagi sebagian orang dan melegakan bagi yang lain.
Awalnya, ia mungkin terlalu percaya diri, memberikan keunggulan hampir lima menit kepada Ben O’Connor. Namun, pendakiannya kembali ke puncak terlihat pasti dan tak terhindarkan. Meski banyak yang mendukung O’Connor sebagai kuda hitam, tetap menyenangkan menyaksikan Roglič tampil impresif saat ia kembali menguasai Grand Tour.
Kebangkitan O’Connor
Beberapa saat setelah melewati garis finis uji waktu terakhir Vuelta di Madrid pada hari Minggu, Ben O’Connor berhenti di depan kamera yang memperlihatkan jelas kebahagiaannya bahkan sebelum ia mengangkat helm visanya.
"Ya!" teriaknya ke kamera, sambil mengepalkan tangan.
Ini adalah finis podium Grand Tour pertama O’Connor, setelah finis keempat secara keseluruhan di Giro d’Italia tahun ini. Di Spanyol, ada juga tekanan besar yang menyertainya karena harus mempertahankan kaus pemimpin selama 13 hari.
Pembalap Decathlon AG2R La Mondiale ini akan belajar dari pengalamannya dan mengambil kepercayaan diri dari peringkat tingginya. Kemungkinan besar, ia akan kembali tahun depan sebagai seorang pembalap Grand Tour yang siap mencuri perhatian.
Jalur Balap Berat: Tantangan dan Kegembiraan
Ketika rute Vuelta a Espana tahun ini diumumkan, jelas terlihat bahwa ini akan menjadi balapan yang sangat berat. Delapan finis di puncak dan lebih banyak gunung lainnya menjadikannya balapan pendaki, dengan sedikit kesempatan bagi sprinter. ‘Brutal’ adalah kata kunci yang banyak digunakan, bahkan ada protes dari beberapa pihak yang menyebutnya terlalu berlebihan.
Rute Vuelta memang cenderung sulit, tetapi kali ini rasanya perancang rute Fernando Escartin, mantan peraih podium Tour de France, telah mendorongnya semaksimal mungkin.
Apakah total 10 etape gunung terlalu banyak? Mungkin, meskipun para pembalap sendiri tidak membuat kegaduhan tentang hal itu. Namun, salah satu aspek tersulit dari balapan ini tentu saja banyaknya kemiringan curam yang menentukan beberapa finis etape.
Contohnya tanjakan Cuitu Negru yang mendebarkan pada etape 15 dengan kemiringan 24% di dekat puncak, dan finis di Moncalvillo pada etape 19, yang 5,5 km terakhirnya memiliki kemiringan rata-rata antara 9,5 dan 11,8%, dengan kemiringan 16%. Ben O’Connor akhirnya menyerahkan kaus merah di situ.
Etape-etape tersebut menampilkan pertempuran yang paling mendebarkan, belum lagi beberapa seringai paling mengkhawatirkan di seluruh balapan, karena para pembalap benar-benar mengerahkan seluruh tenaga mereka di jalanan yang curam itu.
Mungkin bisa mengurangi beberapa etape gunung, tetapi mari pertahankan kemiringan curam itu.