Sepeda balap paling prestisius di dunia, Tour de France, kerap diramaikan oleh pertanyaan mengenai perlunya inovasi di etape terakhir. Meskipun sebagian besar etape berlangsung sengit, etape terakhir yang berakhir di Paris sering kali dikritik karena minimnya persaingan.
Tradisi yang sudah mengakar menjadikan etape terakhir sebagai ajang unjuk gigi para sprinter. Mereka akan bertarung memperebutkan gelar juara dunia sprint di sepanjang Champs-Élysées. Namun, beberapa pihak menilai hal ini menciptakan situasi yang monoton dan membosankan.
Ada usulan untuk memasukkan pendakian berbatu Butte Montmartre ke dalam etape terakhir. Hal ini akan membuka kemungkinan strategi yang lebih beragam dan memungkinkan pebalap yang tidak terlalu unggul di sprint untuk meraih kemenangan.
Namun, perubahan ini juga memunculkan pertanyaan mengenai kalkulasi waktu finis dan apakah etape terakhir masih akan bersifat seremonial. Jika tidak, hal itu dapat memicu persaingan sengit untuk kemenangan keseluruhan hingga detik-detik terakhir.
Di sisi lain, menghilangkan tradisi sprint di Champs-Élysées dapat berdampak negatif bagi sebagian besar sprinter. Tanpa kesempatan untuk bersinar di etape ke-21, mereka mungkin akan enggan menyelesaikan balapan.
Inovasi memang perlu dipertimbangkan, seperti yang terbukti dari keberhasilan etape terakhir di Nice tahun lalu. Namun, menghapus tradisi sprint di Paris secara permanen perlu dipikirkan masak-masak. Mungkin perubahan semacam itu sebaiknya hanya diterapkan sesekali saja untuk memberikan pengalaman yang berbeda dan menarik.
Pada akhirnya, keputusan untuk mengubah atau mempertahankan tradisi sprint di Paris harus mempertimbangkan keseimbangan antara menjaga daya tarik balapan bagi para penggemar dan memberi peluang bagi pebalap yang mungkin belum pernah merasakan kemenangan etape di Tour de France.