Balapan sepeda klasik terkenal dengan pemandangan yang indah dan suasana yang menyenangkan. Namun, cuaca ekstrem dapat mengubah atmosfer tersebut menjadi medan pertempuran yang tak kenal ampun.
Pada La Flèche Wallonne baru-baru ini, cuaca dingin yang menusuk dan hujan deras menghalangi setengah dari pembalap wanita dan menyisakan hanya sedikit yang mampu bertahan di balapan putra. Cuaca yang tak menentu ini menjadi perbincangan utama, disebut-sebut sebagai edisi paling sulit dalam ingatan baru-baru ini.
Cuaca ekstrem bahkan dapat membatalkan balapan, seperti yang terjadi pada GP Oetingen tahun lalu. Alih-alih membatalkan acara, penyelenggara memindahkannya ke waktu yang lebih hangat, membuktikan bahwa terkadang cuaca dapat menjadi pendorong motivasi.
Cuaca juga dapat menciptakan momen-momen dramatis, seperti pada Giro d’Italia 2013, ketika Vincenzo Nibali mengayuh sepedanya di tengah badai salju, yang berujung pada kemenangannya. Pada Tour de France 2019, badai hujan es yang hebat memaksa pembatalan etape, menghadiahkan jersey kuning kepada Egan Bernal dari pundak Julian Alaphilippe.
Namun, cuaca ekstrem bukan hanya kutukan. Beberapa balapan justru mendapat keuntungan darinya. Pada Giro Donne 2022, hujan lebat membanjiri lintasan, memaksa pembatalan etape pendahuluan. Annemiek van Vleuten meraih kemenangan solo yang mengesankan pada etape berikutnya, memulai dominasinya pada balapan itu.
Cuaca ekstrem dalam balapan sepeda klasik dapat menghadirkan tantangan dan peluang yang tak terduga. Dari balapan yang dipersingkat hingga kemenangan yang mengejutkan, cuaca menjadi elemen tak terduga yang menambah sensasi dan ketegangan pada olahraga ini.
Sementara balapan dalam kondisi ideal tetap menjadi impian setiap atlet, cuaca ekstrem telah membuktikan bahwa itu dapat menjadi katalisator untuk menciptakan momen-momen bersejarah dan menguji batas kemampuan manusia.