Marion Sicot, mantan atlet sepeda Prancis, terpaksa meringkuk di balik jeruji besi selama 10 bulan. Pengadilan menjatuhkan vonis tersebut atas pelanggaran yang dilakukan Marion, yaitu kepemilikan dan penggunaan produk doping terlarang.
Vonis ini merupakan babak akhir dari proses panjang anti-doping yang telah dijalani Marion sejak 2019. Pada saat itu, ia dinyatakan positif menggunakan erythropoietin (EPO) saat mengikuti kejuaraan nasional Prancis.
Awalnya, Marion membantah tuduhan tersebut. Namun, setahun kemudian, ia mengakui penggunaan EPO dan mendapat sanksi larangan tanding selama dua tahun dari Agence Française de Lutte Contre le Dopage (AFLD).
Sanksi tersebut kemudian diperpanjang menjadi empat tahun, yang berlaku hingga Maret 2024. Tak hanya EPO, Marion juga mengaku menggunakan zat terlarang lainnya, clenbuterol, ketika masih aktif sebagai atlet profesional.
"Saya kurang percaya diri… Untuk mencapai tingkat yang saya inginkan, saya mengambil jalan pintas yang mudah," aku Marion saat persidangan.
Ia juga mengakui bahwa mendapatkan doping sangat mudah. "Entah Anda mengenal seseorang atau mencari di internet," kata Marion.
Selain Marion, seorang temannya juga divonis hukuman 10 bulan penjara dengan masa percobaan atas pelanggaran yang sama. Ia juga didenda sebesar €10.000.
Adapun dokter berusia 51 tahun yang diduga memberikan resep ilegal juga dijatuhi hukuman yang lebih berat. Ia didenda €20.000, dihukum larangan praktik selama enam bulan, dan mendapat hukuman 10 bulan penjara dengan masa percobaan.
Marion tidak dipenjara karena penggunaan doping itu sendiri, karena hal tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran pidana di Prancis. Namun, ia dijatuhi hukuman atas "perdagangan dan kepemilikan zat terlarang."
Kasus Marion Sicot menjadi pengingat bahwa doping tidak hanya merusak kesehatan atlet, tetapi juga dapat berujung pada sanksi hukum yang berat. Hal ini tentu perlu menjadi pelajaran berharga bagi atlet dan pelaku olahraga lainnya.