Bagi para penggemar sepeda lipat, kepraktisan kendaraan roda dua ini tak tertandingi. Kemudahannya untuk dilipat dan dibawa masuk ke dalam tujuan menjadikan sepeda lipat pilihan ideal di daerah dengan penyimpanan sepeda yang minim dan pencurian sepeda yang marak.
Selain itu, sepeda lipat juga diperbolehkan naik kereta, bus, tram, dan transportasi umum lainnya tanpa perlu memesan tempat atau berebut dengan pengendara lain. Bahkan, sepeda lipat bisa dibawa masuk taksi dan helikopter. Di lingkungan perkotaan, sepeda lipat seperti alat teleportasi yang praktis.
Namun, keunggulan ini diikuti oleh satu kekurangan. Begitu orang melihat pengendara sepeda lipat, mereka langsung mengkategorikannya sebagai "Orang Gila Bersepeda".
Misalnya, seorang komentator lepas pernah mengalami hal ini. Ia tiba di toko optik dengan jas berekor dan membawa sepeda lipat Brompton. Padahal, ia hanya akan mengambil monokel baru.
Jika ia datang dengan sepeda biasa, staf toko pasti tidak akan terlalu memperhatikan. Namun, karena membawa sepeda lipat, ia langsung dicap sebagai "Orang Gila Bersepeda yang Aneh".
Lebih parahnya lagi, pandangan seperti ini juga banyak dianut oleh sesama pengendara sepeda. Banyak yang meragukan keamanan sepeda lipat, menganggapnya sulit dikendalikan. Padahal, pengendara sepeda lipat mengklaim bahwa adaptasi mengendarainya hanya membutuhkan waktu sekitar lima puluh meter.
"Saya pernah mengendarai sepeda lipat mendaki Alpe d’Huez dan turun tanpanya masalah," ujar salah satu penggemar sepeda lipat.
Sikap negatif ini juga tercermin saat pengendara sepeda biasa menyalip sepeda lipat di lampu merah, hanya karena mereka tidak nyaman berada di belakangnya. Fenomena ini dirasakan oleh pengendara sepeda lipat sebagai sikap merendahkan.
Meski dianggap aneh, penggemar sepeda lipat tetap percaya diri dengan pilihan mereka. Mereka bahkan meyakini bahwa suatu saat nanti semua orang akan beralih ke sepeda lipat atau menemukan kunci sepeda yang layak.
