Saat mengayuh sepeda di jalur pedesaan yang sepi, momen perjumpaan dengan pesepeda lain menjadi simbol kebersamaan. Sapaan singkat, seperti lambaian atau anggukan, merefleksikan pengakuan akan kesamaan yang menyatukan mereka: bersepeda.
Namun, belakangan ini, tradisi sopan santun tersebut mulai terkikis. Tak sedikit pesepeda yang mengabaikan sapaan atau bahkan berpura-pura tidak melihat. Sikap ini menimbulkan tanya, apakah pesepeda telah kehilangan rasa kebersamaan?
Pengamatan penulis menunjukkan adanya pola umum pada pesepeda yang enggan membalas sapaan. Mereka biasanya berjenis kelamin laki-laki, mengendarai sepeda mahal dengan perlengkapan mentereng. Sikap individu atau kelompok ini seolah mencerminkan arogansi dan menganggap pesepeda lain tidak setara.
Fenomena ini mengkhawatirkan karena menggerus nilai-nilai kolektifisme yang selama ini menjadi ciri khas komunitas pesepeda. Bersepeda seharusnya menjadi aktivitas yang menyenangkan dan menyatukan, bukan ajang unjuk supremasi.
Penulis mengimbau seluruh pesepeda untuk kembali menghargai tradisi sapaan. Tindakan sekecil lambaian atau anggukan tidak hanya menunjukkan kesopanan, tetapi juga menegaskan rasa kebersamaan di atas roda. Dalam dunia yang kian individualistik, sikap positif ini sangat dibutuhkan untuk memelihara spirit kolektif.
Sikap antisosial pesepeda yang mengabaikan sapaan adalah masalah yang perlu segera diatasi. Mari bersama-sama mengembalikan budaya sopan santun di atas sepeda, karena kebersamaanlah yang menjadikan bersepeda lebih dari sekadar aktivitas fisik.