Setelah berbulan-bulan diwarnai spekulasi dan rumor, kabar mengejutkan datang dari dunia balap sepeda. Tom Pidcock, salah satu pembalap muda paling berbakat di Inggris, telah memutuskan untuk meninggalkan Ineos Grenadiers.
Kepindahan Pidcock ini menjadi tanda tanya besar, mengingat tim yang bermarkas di Inggris itu sempat menunjukkan ketertarikan besar kepadanya. Setelah kepergian Chris Froome dan cedera parah Egan Bernal, Ineos membutuhkan sosok pembalap baru yang bisa meraih kemenangan di ajang-ajang besar.
Dengan kemampuannya yang mumpuni dan sikapnya yang percaya diri, Pidcock diharapkan menjadi solusi bagi Ineos. Ia terbukti telah memberikan kontribusi yang besar, seperti kemenangan di Alpe d’Huez, Strade Bianche, dan Amstel Gold. Bahkan, ia juga berhasil meraih dua medali emas Olimpiade untuk nomor sepeda gunung dan satu gelar juara dunia CX.
Namun, entah bagaimana, Ineos Grenadiers harus rela melepaskan Pidcock. Tim ini belakangan mendapat banyak kritik karena dianggap kurang berprestasi. Meski beberapa kemenangan telah diraih, termasuk kemenangan etape Grand Tour dan kemenangan di Classic, Ineos sudah tidak lagi menjadi tim yang ditakuti lawan-lawannya.
Selain hasil yang kurang maksimal, ada pula indikasi bahwa suasana internal tim sedang tidak baik-baik saja. Moral yang rendah, kepergian pembalap dan staf kunci, serta sikap tim yang semakin tertutup, membuat situasi semakin tidak kondusif.
Masalah internal ini mulai terlihat sejak Juli lalu, ketika direktur balap Steve Cummings ditinggalkan di rumah untuk Tour de France. Pidcock bahkan sempat mengutarakan bahwa tim akan lebih baik tanpa kehadiran Cummings. Momen ini menjadi awal dari serangkaian kepergian yang mewarnai Ineos Grenadiers.
Cummings juga absen di Vuelta a Espana, yang berarti ia tidak hadir di Grand Tour apa pun bersama timnya pada tahun 2024. Ketidakpuasan semakin menjadi ketika Cummings digantikan oleh pelatih Pidcock sendiri, Kurt Bogaerts, dalam Tour of Britain. Akhirnya, Cummings memutuskan hengkang dan bergabung dengan Jayco-AlUla musim depan.
Sementara itu, Pidcock semakin dikaitkan dengan tim lain, seperti Q36.5 dari Swiss dan Red Bull-Bora-Hansgrohe. Spekulasi tersebut sempat membuatnya "lelah secara mental", seperti yang ia ungkapkan pada bulan Agustus lalu.
Kini, menyusul Cummings, Pidcock, Jhonatan Narvaez, dan Luke Rowe, Ethan Hayter juga dipastikan akan meninggalkan Ineos Grenadiers. Pembalap Inggris yang menjanjikan itu akan bergabung dengan Soudal-Quick Step musim depan.
Kepergian sejumlah pembalap kunci ini tentu menjadi pukulan telak bagi Ineos Grenadiers. Mereka harus kehilangan empat pembalap penting dan satu direktur olahraga. Meski tidak ada yang bisa menggantikan secara langsung, membangkitkan kembali moral bukanlah hal yang mudah.
Baru-baru ini, Pidcock sempat mengomentari masalah internal dan performa tim musim ini. "Ini bukan yang kami inginkan, tetapi saya melihat banyak perubahan positif. Tentu saja, setiap orang mengakui adanya kesulitan ketika kamu melakukan perubahan, dan kami melihat perubahan itu terjadi. Saya berharap hal ini bisa dibalikkan."
Mungkinkah masih ada harapan di ujung terowongan? Kemungkinan itu bisa saja terjadi, mengingat Ineos Grenadiers telah merekrut Sam Watson, pembalap muda Inggris berusia 23 tahun dari Groupama FDJ. Watson merupakan salah satu dari sejumlah nama baru yang akan memperkuat tim pada tahun 2025.
Selain Watson, Ineos juga mendatangkan Bob Jungels, pemenang Liège-Bastogne-Liège dari Red Bull-Bora-Hansgrohe, dan Axel Laurance, juara dunia U23 dari Alpecin-Deceuninck. Tim ini masih diperkuat oleh Bernal dan climber Carlos Rodriguez, yang menunjukkan performa menjanjikan di Grand Tour.
Di era di mana tim-tim dengan anggaran besar bermunculan, seperti Red Bull-Bora-Hansgrohe dan Visma-Lease a Bike, Ineos Grenadiers mungkin harus mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa mereka tidak lagi menjadi penguasa Grand Tour. Dengan mengakui hal ini, tim diharapkan menjadi lebih terbuka dan menemukan kedamaian batin yang sangat mereka butuhkan saat ini.